Sesuatu yang indah


Ada yang pernah bilang

jika kita pergi terlalu jauh dari rumah

kita kehilangan akar kita

Membunuh terlalu banyak orang

dan kita lupa siapa diri kita

Jika kita tewas dalam pertempuran

kehidupan kita akan meresap ke tanah

Seperti hujan, akan hilang tanpa jejak

Jika saat itu kau sedang jatuh cinta pada seseorang

harapan akan mekar lagi—dari dalam tanah

Dan merangkul kehidupan dengan penuh gairah


Puisi yang indah, pikir Daka. Tapi siapa yang menulisnya dan meletakkannya di tempat seperti ini? Daka menghentikan pekerjaannya sejenak. Sebaris puisi yang tertulis di atas sebuah tumpukan kertas itu menyita seluruh perhatiannya. Dia meniup debu di atasnya. Menimbang-nimbang beratnya. Tumpukan kertas lusuh berupa kumpulan tulisan. Daka mencoba mencari identitas di dalamnya, tak berjudul dan tak berpengarang—tak bertuan.

Tumpukan kertas ini berbeda. Diantara sekian banyak barang—yang dia bereskan—di kos baru itu. Ialah satu-satunya tulisan di lautan barang tak berharga ini. Ditambah tentunya harga yang begitu pantas untuk ruangan berukuran dua kali tiga tersebut.

Daka kembali membaca bait pertama. Ada yang pernah bilang/jika kita pergi terlalu jauh dari rumah/kita kehilangan akar kita. Dia tak sepenuhnya mengerti. Dalam pikirnya tiba-tiba melintas kejadian dua hari lalu.

“Keluarlah dengan berjalan jongkok, melewati selangkangan ibumu.” Kata ayah Daka. “Agar kau tidak lupa dari mana kau berasal.” Tak ada yang ia lakukan selain menurut. Sekarang aku di sini—di Yogyakarta. Kota tempat aku harus menunaikan amanat sebagai seorang pembelajar, berbekal pengorbanan dan tetes keringat orang tua. Gumamnya lagi.

Agar kau tidak lupa dari mana kau berasal dan kita kehilangan akar kita. Dia membandingkan kata-kata ayahnya dengan sebaris bait puisi itu. Pertanyaan timbul di kepalanya seperti ribuan umbi yang bermunculan dari tanah. Benarkah? Apakah dua kalimat itu berkaitan satu sama lain? Lalu apa?

“Mas Daka.” Suara Pak Kos menyapanya dari belakang. “Nanti saya minta fotocopy KTP-nya ya.”

Daka beringsut, sedikit menggaruk kepala. Ia telah lupa bahwa ia telah berjanji menyerahkan KTP-nya pagi ini. “Ya Pak. Maaf saya lupa, padahal udah janji tadi pagi.”

“Tidak apa-apa.”

Pak kos membalikkan punggungnya—beranjak pergi. Ia masih memegang tumpukan tulisan di tangannya. Ada perasaan ingin tahu yang meletuskan mulutnya sehingga bertanya, “Pak… yang dulu tinggal di kamar ini siapa?”

Pak kos berpikir sejenak.

“Saya juga kurang tau Mas. Saya beli rumah ini setahun yang lalu. Dan kamar ini memang tidak pernah saya rapikan. Daripada saya diamkan terus, akhirnya saya koskan saja.”

Tidak ada petunjuk. Siapa yang menulis tumpukan kertas itu. Daka memandang punggung Pak kos berlalu. Termangu beberapa detik. Dia membolak-balik beberapa halaman. Berharap ada sebuah nama di dalamnya. Rasa penasaran untuk membacanya membuncah di dada. Tapi ia kembali tersadar. Dia belum punya tempat untuk menggelar kasur malam ini.

Ia letakkan tumpukan kertas itu di atas meja. Aku akan membacanya malam nanti, pikirnya. Ia meletakkannya terbalik. Ia juga meletakkan juga sebuah sisir yang ia temukan di bawah meja. Matanya melirik lagi ke tumpukan kertas itu, ada sebuah kata tertulis di pojok kiri bawah lembaran terakhir. Ia memfokuskan penglihatannya lagi. Ditulis dengan tangan menggunakan gaya tulisan tegak bersambung. Membentuk jalinan huruf Akm. “A”, “K”, dan “M”. mungkin sebuah inisial. Tapi apa kepanjangannya?

Aduh Daka! Selesaikan pekerjaanmu!. Tinggalkan tumpukan tulisan usang itu. Kau mau, tidur meliuk seperti ular nanti malam?. Sebentuk pikiran lain mengingatkannya. Ia pun meninggalkan tumpukan kertas itu—kembali bersih-bersih.

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar

Comment